Search for collections on Scholar Repository UIN Imam Bonjol Padang

PEMIKIRAN MOHAMMAD HATTA TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA

Efrinaldi, - (2006) PEMIKIRAN MOHAMMAD HATTA TENTANG ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM DINAMIKA POLITIK DI INDONESIA. Doctoral thesis, Program Pascasarjana.

[thumbnail of DISERTASI_Pemikiran Moh Hatta ttg Islam & Demokrasi dl Dinamika Politik di Indonesia_Summary.pdf] Text
DISERTASI_Pemikiran Moh Hatta ttg Islam & Demokrasi dl Dinamika Politik di Indonesia_Summary.pdf

Download (604kB)

Abstract

Disertasi ini mengkaji tentang Pemikiran Mohammad Hatta tentang Islam dan
Demokrasi dalam Dinamika Politik di Indonesia. Penelitian ini difokuskan untuk
menjawab: 1) bagaimana pemikiran Hatta tentang demokrasi dalam hubungannya
dengan dinamisasi Islam di Indonesia, serta sejauhmana keselarasan pemikiran Hatta
tentang Islam dalam penegakan nilai-nilai demokrasi tersebut; 2) bagaimana seharusnya
politik Indonesia versi Hatta dalam kaitannya dengan Islam dan paham kebangsaan
dalam dinamika demokrasi dan pluralisme politik di Indonesia.
Untuk membahas permasalahan ini, penelitian ini menggunakan pendekatan
metode penelitian sejarah, yang sumber-sumber data ditelaah melalui penelitian
kepustakaan (library research), yang diklasifikasikan kepada jenis data, yang meliputi
data primer berupa karya-karya Hatta yang relevan dengan topik yang dibahas, dan data
sekunder dari tulisan-tulisan cendikiawan lain tentang Hatta. Untuk mendapatkan data
yang akurat dan dokumenter digunakan teknik pengumpulan data kepustakaan, yang
kemudian setelah data itu dikumpulkan dilakukan pengolahan data melalui analisis
data (contents analysis), dan dengan menggunakan metode komparatif.
Berdasarkan penelitian penulis, dapat dikemukakan bahwa perhatian Hatta
begitu intens tentang penegakan demokrasi di atas persada tanah air. Menurut Hatta,
perkembangan ide demokrasi di Indonesia bersumber pada tiga hal. Pertama, paham
demokrasi Barat yang mengandung dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan,
persaudaraan, dan persamaan, yang memberi inspirasi bagi pergerakan nasional dalam
menentang imperialisme di nusantara. Kedua, ajaran Islam yang membela kebenaran
dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Dalam syari’at Islam terlihat betapa urgennya
nilai-nilai persaudaraan, keadilan, kebenaran, kebebasan, dan persamaan (equality
before the law), yang mesti disosialisasikan dalam masyarakat, sesuai dengan cita-cita
Islam. Hatta menyatakan bahwa Islam merupakan salah satu pilar kebudayaan bangsa
dan sebagai “pelita yang sebaik-baiknya untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam
persaudaraan dan tolong-menolong.”
Islam memperkuat demokrasi dengan membawakan argumentasinya sendiri.
Dalam siyasah syar’iyyah dikenal adanya konsep-konsep musyawarah (perundingan),
al-hurriyah (kebebasan), amanah (accountability) dan musawah (kesetaraan) yang jika
diinterpretasikan secara inherent sudah mengandung unsur-unsur dasar (family
resemblances) dengan demokrasi. Dalam hal ini, relevansi cita-cita demokrasi Hatta
dengan agama yang dipeluknya mencuat. Islam dan demokrasi pada esensinya
compatible dan dapat viable.
Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme,
yang tercermin dari masyarakat desa, berupa gotong-royong dan asas kekeluargaan.
Demokrasi dalam masyarakat pedesaan tampak warga hidup dengan tolong-menolong,
rapat/musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan, kebebasan untuk menolak
(dessent) dan menentang kebijakan pimpinan dalam rapat desa, yang pada dasarnya
merupakan masyarakat kolektifis.
Hatta tampak sebagai seorang demokrat dan pejuang penegakan hak-hak asasi
manusia. Pemikiran tentang pentingnya muatan hak-hak asasi manusia, seperti
kebebasan berpendapat, menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan lainnya
diperjuangkan Hatta secara serius untuk dimasukkan ke dalam UUD 1945, seperti
tercermin dalam Pasal 28 UUD 1945. Konsep mengenai welfare policy dan kebijakan
affirmative action dirumuskan pula dalam Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar
1945. Ini merupakan dasar pelaksanaan keadilan sosial, yang sesuai dengan Islam, yang
menghendaki agar masyarakat melaksanakan keadilan dan kemakmuran.
xvi
Dalam dinamika politik di Indonesia, Hatta tampak sebagai seorang tokoh
nasionalis sekuler. Pengidentifikasian para tokoh politik Indonesia menjadi nasionalis
sekuler dan kelompok Islam, antara lain, bertolak dari ciri partai tempat tokoh tersebut
aktif dan berjuang dalam pergerakan kebangsaan. Dalam konteks ini, Hatta aktif dalam
organisasi Perhimpunan Indonesia dan PNI-Baru, yang bercorak nasionalisme. Meski
dalam politik ia dikategorikan sebagai seorang nasionalis, namun sikap religius dan
nafas budaya tampak mencuat dalam berbagai pemikirannya. Dalam keyakinan Hatta,
nasionalisme yang disikapinya tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Buktinya,
bahwa ia adalah seorang Muslim yang taat dan sekaligus berpaham kebangsaan.
Hatta terlihat sebagai pribadi yang unik dan menarik. Hatta memandang Islam
dalam hubungan dengan negara secara substantif, bukan simbolik. Dalam pandangan
Hatta sejak dari dulu, bagi negara yang warga negaranya plural dan heterogen,
penganut agamanya berbeda-beda, maka negara mesti didirikan di atas persatuan dan
kesatuan nasional, dan mesti dengan dasar “demokrasi”, yakni dengan maksud
mengayomi dan melindungi keselamatan seluruh rakyatnya, seperti pendapatnya
mengenai pertentangan dalam masyarakat India pada tahun 1931.
Demi persatuan dan kesatuan bangsa pula, resolusi konflik ideologis diretas
oleh Hatta, tatkala perdebatan kelompok Islam politik dengan kalangan nasionalis
bergulir terus pada Piagam Jakarta (The Jakarta Charter), yang kemudian tujuh patah
kata dalam sila pertamanya dihapus, yakni: dengan kewajiban melaksanakan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Pancasila kemudian ditetapkan sebagai dasar negara
pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam perkembangannya, Hatta dipandang sangat berjasa dalam upaya meng-
“Islamisasi” Pancasila, sehingga dasar negara ini dapat diterima oleh sebagian besar
umat Islam di Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa harus
selalu disinari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pandangan orang Islam, Esa
tersebut menunjukkan dengan makna tauhid.
Meski demikian, perdebatan panjang yang bersifat ideologis-politis terus
bergulir, seperti terlihat pada Majelis Konstituante pada tahun 1950-an. Perdebatan
demokratis antara pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila menjadi terhenti
dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang berujung dengan
diterapkan Demokrasi Terpimpin-nya pemerintahan Soekarno (1959-1965). Pada era
Demokrasi Terpimpin, Hatta memang sangat kritis, karena baginya demokrasi tidak
dapat dipaksakan dari atas. Naskah Demokrasi Kita, yang digagas Hatta tahun 1960,
bahkan pernah dilarang terbit.
Pada tahun 1967 Hatta bermaksud mendirikan Partai Demokrasi Islam
Indonesia. Dalam pemikiran Hatta, keinginannya untuk mendirikan PDII adalah faktor
sejarah, yang dalam perkembangannya tidak jadi berdiri, karena tidak diizinkan
pemerintah Orde Baru.
Dalam hidupnya Hatta selalu berupaya untuk menegakkan demokrasi di tanah
air. Cita-cita dengan semangat demokratis yang menjadi pedoman bukan hanya
kemerdekaan bangsa, tetapi suatu Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan sejahtera.

Item Type: Thesis (Doctoral)
Subjects: 300 Social Science > H Social Sciences (General)
Divisions: Pascasarjana Program Doktor > Hukum Islam (S-3)
Depositing User: Zulfitri Zulfitri Pustakawan
Date Deposited: 13 Sep 2024 09:19
Last Modified: 13 Sep 2024 09:19
URI: https://scholar.uinib.ac.id/id/eprint/1890

Actions (login required)

View Item
View Item