Pemberian bebas bersyarat oleh Negara kepada narapidana setelah dia menjalani
2/3 masa hukuman (penjara) menimal hukuman itu 9 bulam penjara. Penulisan ini
dilatarbelakangi oleh putusan hakim yang menghukum pelaku kejahatan dengan
hukuman penjara, sementara di sisi lain ada aturan yang mengatur tentang
pemberian bebas bersyarat bagi narapidana yang diancam hukuman penjara
sebelum selesai menjalani masa hukuman penjara yang ditetapkan oleh hakim.
Sedangkan dalam hukum Islam seseorang yang dikenai hukuman dapat terhindar
dari hukumannya apabila adanya pengampunan (syafa‟at) dari penguasa atau
pema‟afan (al-afwu) dari ahli waris atau keluarga korban. Untuk mengkaji
permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan atau
library research. Yaitu menggunakan teknik pengumpulan data dari bahan hukum
primer dan sekunder. Metode yang di pakai dalam menganalisa dalam penelitian
ini menggunakan analisis dengan penalaran deduktif. Dalam hukum Islam
penguasa/pemerintah hanya dibolehkan memberikan pengampuna/bebas bersyarat
terhadap pelaku jarimah ta‟zir saja, sedangkan jarimah hudud diperbolehkan
pengampunan sebelum adanya proses hukum, dan dalam jarimah qisas dan diyat
hanya boleh diampuni oleh wali korban atau korban saja. Bebas bersyarat yang
ada di Indonesia, dalam hukum Islam dapat disebut dengan syafa‟at karena
diberikan oleh pemerintah. Pemberian bebas bersyarat bagi narapidana yang
menjalani hukuman penjara sejalan dengan pengampunan dalam jarimah ta‟zir.
Oleh sebab itulah bebas bersyarat yang diberikan kepada narapidana yang di
hukum penjara dibolehkan dalam hukum Islam.